OPINI

 ESTAFETA DAKWAH TAUHID DARI RASULULLAH SAW HINGGA KH AHMAD DAHLAN DALAM TIGA DIMENSI TAUHID MENURUT BUYA YUNAHAR ILYAS

Oleh: Warjo,[1] Arief Effendi Hidayat[2], Ahmad Luthfi Hidayat[3]

 

Google Scholer

Edisi 01 Bulan 10 Tahun 2025 

Koran Inti Jaya 

ABSTRAK

Dakwah tauhid merupakan inti dari risalah Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW dan diteruskan oleh para da'i sepanjang sejarah Islam. Penelitian ini mengkaji perjalanan dakwah tauhid dari era Rasulullah SAW, para sahabat, ulama tabi'in, hingga KH Ahmad Dahlan sebagai tokoh pembaru Islam di Nusantara.

Analisis dilakukan melalui kerangka tiga dimensi tauhid menurut Buya Yunahar Ilyas: Rububiyah (ketuhanan dalam pengurusan), Mulkiyah (ketuhanan dalam kepemilikan), dan Uluhiyah (ketuhanan dalam peribadatan). Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi literatur terhadap Al-Qur'an, hadis, dan karya-karya ilmiah terkait.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dakwah tauhid telah mengalami kontinuitas dan evolusi metode sesuai konteks zaman, namun tetap berpegang pada prinsip dasar Al-Qur'an dan Sunnah. KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah menerapkan ketiga dimensi tauhid dalam gerakan pemurnian akidah masyarakat Muslim Nusantara yang telah tercampur dengan praktik sinkretisme, bid'ah, dan khurafat.

Kata Kunci: Dakwah, Tauhid, Tiga Dimensi, Rasulullah, KH Ahmad Dahlan

I. PENDAHULUAN

Dakwah tauhid merupakan misi sentral dalam Islam yang telah dimulai sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW dan berlanjut hingga kini. Perjalanan panjang dakwah ini menunjukkan suatu estafeta yang tidak pernah terputus, di mana setiap generasi da'i mewarisi dan mengembangkan metode penyampaian ajaran tauhid sesuai dengan tantangan zamannya.

Dari era Rasulullah SAW yang menghadapi kaum musyrikin di tanah Arab, dilanjutkan oleh para sahabat yang memperluas dakwah ke berbagai penjuru dunia, kemudian para tabi'in yang menghadapi munculnya aliran-aliran teologi yang menyimpang, hingga tokoh-tokoh pembaru seperti KH Ahmad Dahlan yang berhadapan dengan praktik sinkretisme di Nusantara - semuanya menunjukkan dinamika dakwah tauhid yang terus beradaptasi namun tetap berpegang pada prinsip fundamental.

Buya Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.A., telah memberikan kontribusi penting dalam sistematisasi pemahaman tauhid melalui pembagiannya ke dalam tiga dimensi yang saling berkaitan:

  1. Tauhid Rububiyah - Pengesaan Allah dalam fungsi-Nya sebagai Rabb (Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur alam semesta)
  2. Tauhid Mulkiyah - Pengesaan Allah sebagai pemilik mutlak seluruh alam semesta
  3. Tauhid Uluhiyah - Pengesaan Allah sebagai satu-satunya yang berhak disembah

Kerangka ini memberikan perspektif komprehensif untuk memahami dan mengimplementasikan ajaran tauhid dalam seluruh aspek kehidupan, bukan hanya dalam dimensi ritual keagamaan.

 

Rumusan Masalah dan Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1.     Menguraikan perjalanan historis dakwah tauhid dari Rasulullah SAW hingga KH Ahmad Dahlan

2.     Menganalisis implementasi tiga dimensi tauhid dalam konteks dakwah sepanjang sejarah

3.     Mengkaji relevansi pemikiran Buya Yunahar Ilyas dan KH Ahmad Dahlan untuk dakwah kontemporer

 II. KAJIAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Tauhid

Tauhid secara etimologi berasal dari kata "wahhada-yuwahhidu-tawhidan" yang berarti mengesakan. Secara terminologi, tauhid adalah keyakinan bahwa Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam zat, sifat, maupun perbuatan-Nya.

Al-Qur'an menegaskan konsep ini dalam Surah Al-Ikhlas:

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ۝ اللهُ الصَّمَدُ ۝ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ۝ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

"Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia." (QS. Al-Ikhlas: 1-4)

 2.2 Tiga Dimensi Tauhid Menurut Buya Yunahar Ilyas

Dalam dinamika pemikiran Islam modern, Buya Yunahar Ilyas menghadirkan konstruksi teologis yang menantang formula konvensional tauhid. Sebagai intelektual Muhammadiyah, ia mengajukan alternatif konseptual yang melampaui batasan-batasan kategorisasi mazhab tradisional, khususnya yang berkembang dalam pemikiran Salafi dengan triloginya: Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma' wa Sifat.

Epistemologi Muhammadiyah sebagai Basis Argumentasi, konstruksi pemikiran Yunahar bertumpu pada epistemologi khas Muhammadiyah yang mengutamakan rujukan langsung kepada sumber primer Islam—Al-Qur'an dan Sunnah yang dapat dipertanggungjawabkan (Almaqbulah)—tanpa terikat pada terminologi yang lahir dari tradisi mazhab tertentu. Metodologi ini mengejawantahkan komitmen organisasi terhadap purifikasi sumber ajaran Islam, dengan prinsip bahwa setiap konsepsi teologis harus memiliki legitimasi langsung dari teks-teks normatif.

Dalam perspektif Yunahar, terminologi Asma' wa Sifat yang lazim digunakan dalam formulasi tauhid merepresentasikan hasil kategorisasi skolastik mazhab tertentu, bukan derivasi langsung dari teks suci. Konsekuensinya, ia memilih pendekatan yang lebih substansial dengan mengintegrasikan esensi nama dan sifat-sifat ketuhanan dalam kerangka keimanan yang lebih holistik, tanpa menjadikannya sebagai segmentasi tersendiri dalam taksonomi tauhid.

Kritik terhadap Penyempitan Makna Tauhid, Yunahar mengajukan kritik fundamental terhadap tendensi reduksionis yang mempersempit tauhid hanya pada ranah teologis-ritualistik. Menurutnya, aktualisasi pengesaan Allah dalam dimensi kehidupan sosial, yuridis, dan politik kerap terabaikan dalam diskursus teologis mainstream. Sebagai respons atas keterbatasan ini, ia memperkenalkan konsepsi Tauhid Mulkiyah (kedaulatan ilahi) sebagai komplemen dalam formulasi tauhidnya.

Inkorporasi dimensi Mulkiyah bertujuan memperluas cakupan tauhid melampaui sekadar pengakuan terhadap fungsi penciptaan (Rububiyah) dan objek penyembahan (Uluhiyah), menuju pengakuan komprehensif atas supremasi Allah dalam seluruh aspek eksistensi manusia. Konsepsi ini merefleksikan dimensi sosio-politik tauhid yang menekankan manifestasi nilai-nilai ketauhidan dalam struktur sosial, politik, dan ekonomi sebagai implementasi konkret dari komitmen keimanan.

Menariknya, upaya Yunahar untuk menambahkan tauhid Mulkiyah seringkali mendapat resistensi dari kalangan Salafi yang melabelinya sebagai bid'ah munkarot, semata-mata karena tidak terdapat dalam manhaj salaf. Padahal, jika dikaji secara objektif, formulasi tauhid yang berkembang saat ini juga tidak eksis pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat, melainkan merupakan hasil perkembangan pemikiran teologis dalam sejarah Islam.

Kontras dengan Orientasi Salafi, distingsi mendasar antara pendekatan Yunahar dan tradisi Salafi terletak pada orientasi dan penekanan masing-masing paradigma. Konstruksi tauhid dalam tradisi Salafi cenderung berorientasi pada purifikasi ritual-teologis, dengan penekanan intensif pada Uluhiyah dan Asma' wa Sifat sebagai fondasi purifikasi praktik keberagamaan dari unsur-unsur yang dianggap menyimpang.

Sebaliknya, melalui introduksi konsep Mulkiyah, Yunahar berusaha memastikan bahwa tauhid tidak tereduksi menjadi persoalan pengakuan teologis abstrak, melainkan mencakup pula pengakuan atas kedaulatan Allah dalam sistem hukum dan tatanan sosial. Orientasi ini sejalan dengan misi tajdid (pembaruan) Muhammadiyah yang menekankan relevansi dan kontekstualitas ajaran Islam dalam merespons tantangan peradaban kontemporer.

Implikasi dan Signifikansi Kontekstual, formulasi tauhid yang dikonstruksi Yunahar mencerminkan prinsip pembaruan akidah Muhammadiyah yang menolak rigiditas terminologis non-normatif yang berpotensi membatasi makna syar'i. Pendekatan ini memfasilitasi fleksibilitas dalam memahami dan mengimplementasikan konsepsi tauhid sesuai dengan konteks dan tuntutan zaman, tanpa mengkompromikan substansi ajaran Islam yang fundamental.

Konsekuensinya, konsepsi tauhid Yunahar tidak hanya berfungsi sebagai struktur akidah dan basis metodologis pengesaan, tetapi juga sebagai kerangka integratif yang menyatukan dimensi teologis, ritual, sosial, dan politik dalam satu kesatuan organik. Hal ini mentransformasi tauhid menjadi paradigma eksistensial yang holistik, melampaui sekadar doktrin teologis yang terpisah dari realitas kehidupan empiris.

Pemikiran tauhid Buya Yunahar Ilyas merepresentasikan upaya serius untuk merekonstruksi pemahaman teologis Islam yang lebih komprehensif dan kontekstual. Melalui pendekatan yang berakar pada metodologi Muhammadiyah, ia menawarkan alternatif yang menjanjikan bagi pengembangan teologi Islam yang responsif terhadap kompleksitas peradaban modern, sambil tetap mempertahankan otentisitas dan integritas ajaran Islam.

Tiga Dimensi Tauhid  sebagai berikut :

2.2.1 Tauhid Rububiyah

Dimensi ini menekankan keyakinan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Rabb yang menciptakan, memelihara, mengatur, dan menguasai seluruh alam semesta. Ini meliputi pengakuan terhadap Allah sebagai: Al-Khaliq (Pencipta),Ar-Raziq (Pemberi rezeki), Al-Muhyi wa Al-Mumit (Yang menghidupkan dan mematikan), Al-Mudabbir (Pengatur segala urusan).

2.2.2 Tauhid Mulkiyah

Dimensi ini mengakui bahwa Allah SWT adalah pemilik mutlak (Al-Malik) atas seluruh alam semesta dan segala isinya. Kepemilikan manusia bersifat relatif dan merupakan amanah dari Allah. Implikasinya yaitu Tanggung jawab pengelolaan sumber daya secara adil, Kesadaran bahwa semua yang dimiliki adalah titipan Allah dan Kewajiban mendistribusikan kekayaan sesuai ajaran Islam.

2.2.3 Tauhid Uluhiyah

Dimensi ini menegaskan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya yang berhak disembah (Al-Ilah). Segala bentuk ibadah, doa, dan pengagungan hanya ditujukan kepada Allah semata. Ini mencakup: Penghapusan segala bentuk syirik dan kemusyrikan, Pemurnian niat dalam beribadah dan Penolakan terhadap perantara dalam hubungan dengan Allah.

2.3 Konsep Dakwah dalam Islam

Dakwah secara terminologi berarti mengajak manusia kepada jalan Allah SWT dengan cara yang bijaksana. Al-Qur'an memberikan pedoman metode dakwah:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (QS. An-Nahl: 125).

 III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1    Pendekatan Penelitian,

Adalah dengan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi literatur (library research). Analisis dilakukan secara historis-analitis untuk menelusuri perkembangan dakwah tauhid dari masa ke masa.

 

3.2    Sumber Data,

Sumber data yang digunakan yaitu Sumber Data Primer: Al-Qur'an dan hadis sahih, Sumber Data Sekunder: Kitab tafsir, buku sejarah Islam, biografi tokoh, dan karya ilmiah kontemporer dan Sumber Data Tersier: Artikel jurnal, prosiding, dan referensi akademik lainnya.

3.3    Teknik Analisis

Adalah Analisis data dilakukan melalui tahapan: pengumpulan data, verifikasi dan validasi, interpretasi dalam konteks tiga dimensi tauhid, dan penarikan kesimpulan.

 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Era Rasulullah SAW: Fondasi Dakwah Tauhid

4.1.1 Periode Makkah: Pembinaan Akidah

Dakwah Rasulullah SAW di Makkah berfokus pada penguatan fondasi akidah tauhid. Masyarakat Arab saat itu tenggelam dalam praktik syirik dengan menyembah berhala dan percaya pada kekuatan gaib selain Allah.

Rasulullah SAW menerapkan dakwah tauhid dengan pendekatan bertahap:

1.    Dakwah Sirr (sembunyi-sembunyi): Dimulai dari keluarga dan sahabat dekat

2.    Dakwah Jahr (terang-terangan): Menyampaikan risalah kepada seluruh masyarakat Makkah

3.    Penekanan pada Tauhid Uluhiyah: Mengajak meninggalkan penyembahan berhala

Al-Qur'an menegaskan misi universal para rasul:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ

"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah oleh kamu sekalian akan Aku." (QS. Al-Anbiya: 25)

 4.1.2 Periode Madinah: Implementasi Sistem Tauhid

Di Madinah, dakwah berkembang dari pembinaan akidah menuju implementasi sistem kehidupan yang berdasarkan tauhid. Rasulullah SAW membangun tatanan masyarakat yang mencerminkan ketiga dimensi tauhid:

Pertama Implementasi Tauhid Rububiyah seperti Menetapkan Allah sebagai sumber hukum tertinggi, Membangun sistem pemerintahan yang tunduk pada kehendak Allah dan Menciptakan tatanan sosial yang adil.

Kedua Implementasi Tauhid Mulkiyah dengan Mengatur sistem ekonomi berdasarkan prinsip keadilan, Menetapkan kewajiban zakat sebagai redistribusi kekayaan dan Melarang praktik ekonomi yang eksploitatif.

Ketiga Implementasi Tauhid Uluhiyah yaitu  Memurnikan praktik ibadah dari unsur syirik, Menetapkan sistem peribadatan yang baku,Menghapuskan tradisi jahiliyah yang bertentangan dengan tauhid.

4.2 Era Sahabat: Penjagaan dan Perluasan Dakwah

Para sahabat melanjutkan estafet dakwah tauhid dengan karakteristik masing-masing sebagai berikut :

1.   Abu Bakr As-Siddiq (11-13 H) yaitu Perang Riddah: Mempertahankan kemurnian tauhid dari gerakan murtad, Kodifikasi Al-Qur'an: Menjaga kemurnian wahyu sebagai sumber tauhid, Kontinuitas dakwah: Melanjutkan perluasan Islam ke luar Jazirah Arab

2.   Umar bin Khattab (13-23 H), Sistem administrasi: Membangun birokrasi berdasarkan prinsip tauhid, Keadilan sosial: Mengimplementasikan tauhid dalam kebijakan public, Perluasan dakwah: Membuka wilayah baru untuk penyebaran Islam.

3.   Utsman bin Affan (23-35 H), Mushaf Utsmani: Standardisasi Al-Qur'an untuk menjaga kemurnian ajaran, Pembangunan infrastruktur: Mendukung dakwah melalui fasilitas fisik,integrasi budaya: Mengakomodasi keragaman dalam bingkai tauhid

4.   Ali bin Abi Thalib (35-40 H) peran tauhidnya Penjelasan filosofis: Memberikan elaborasi mendalam tentang konsep tauhid, Menghadapi fitnah: Mempertahankan kemurnian ajaran dari perpecahan internal, Pendidikan: Melahirkan generasi ulama yang memahami tauhid secara komprehensif.

4.3 Era Tabi'in: Sistematisasi dan Kodifikasi

Para tabi'in menghadapi tantangan baru berupa munculnya aliran-aliran teologi yang menyimpang. Mereka berperan penting dalam: Sistematisasi Ilmu Tauhid seperti Said bin Musayyab: Mengembangkan metodologi pemahaman hadis, Hasan Al-Bashri: Memberikan pendekatan sufistik dalam tauhid dan Imam Az-Zuhri: Pelopor kodifikasi hadis secara sistematis.

Menghadapi Aliran Menyimpang seperti Khawarij: Paham takfir yang berlebihan, Murjiah: Paham yang mengabaikan amal dalam iman, Qadariyah dan Jabariyah: Perdebatan tentang takdir dan kehendak bebas.

Kontribusi dalam Dakwah yaitu Mengembangkan metode pendidikan yang sistematis  seperti Membangun jaringan ulama di berbagai wilayah, Menjaga kemurnian ajaran melalui kritik hadis,

 4.4  KH Ahmad Dahlan: Pemurnian Tauhid di Nusantara

4.4.1 Konteks Historis

KH Ahmad Dahlan (1868-1923) hadir dalam konteks masyarakat Muslim Nusantara yang akidahnya telah tercampur dengan praktik sinkretisme, bid'ah, dan khurafat. Kondisi ini meliputi:

·      Sinkretisme agama: Percampuran Islam dengan kepercayaan local yang belum sesuai dengan sumber ajaran Islam.

·      Praktik syirik: kepercayaan benda-benda keramat dan permohonan/ wasilah kepada orang yang telah meninggal dunia dsb.

·      Bid'ah dan khurafat: Praktik keagamaan yang tidak berdasar Al-Qur'an dan Sunnah

·      Stagnasi intelektual: Lemahnya pemahaman terhadap sumber ajaran Islam

4.4.2 Pendekatan dan Implementasi  Dakwah KH Ahmad Dahlan

Pendekatan Pendidikan KH Ahmad Dahlan menjadikan pendidikan sebagai instrumen utama dakwah tauhid: Mendirikan sekolah-sekolah modern yang mengintegrasikan ilmu agama dan umum, Mengembangkan kurikulum yang berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah, dan Melahirkan kader-kader da'i yang memahami tauhid secara komprehensif.

Pendekatan Dakwah bil-Hikmah KH Ahmad Dahlan seperti; menggunakan pendekatan persuasif dan dialogis, Menghindari konfrontasi yang tidak perlu, Memberikan keteladanan dalam mengamalkan ajaran tauhid.

Gerakan Sosial adalah mendirikan berbagai lembaga sosial dan kesehatan, mengembangkan program pemberdayaan ekonomi umat, membangun jaringan dakwah yang terorganisir,

Implementasi Tiga Dimensi Tauhid yang dilakukan KH Ahmad Dahlan berdasarkan penelitian mendalam sebagai berikut :

1.      Tauhid Rububiyah dalam Dakwah KH Ahmad Dahlan: Mengajarkan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta dan Pengatur alam semesta, Mengkritik kepercayaan pada kekuatan gaib selain Allah, menekankan sikap tawakal dan bergantung kepada Allah dalam segala urusan dan Menolak praktik meminta berkah kepada makam dan benda-benda keramat.

2.      Tauhid Mulkiyah dalam Dakwah KH Ahmad Dahlan:Menekankan bahwa semua kekayaan dan kekuasaan adalah milik Allah, Mengajarkan konsep manusia sebagai khalifah yang diberi Amanah, Mendorong distribusi kekayaan yang adil melalui zakat dan wakaf,Mengkritik sistem ekonomi yang eksploitatif dan tidak berkeadilan.

3.      Tauhid Uluhiyah dalam Dakwah KH Ahmad Dahlan:Memurnikan ibadah hanya kepada Allah SWT,Mengkritik praktik meminta pertolongan kepada orang yang telah meninggal,Menolak penggunaan jimat, susuk, dan praktik perdukunan,Menegakkan shalat berjamaah dan ritual keagamaan yang sesuai Sunnah Almaqqbulah.

4.5  Persamaan dan Perbedaan Dakwah Tauhid KH Ahmad Dahlan dengan Buya Yunahar Ilyas.

Dalam sejarah intelektual Muhammadiyah, terdapat benang merah yang menghubungkan visi teologis pendirinya, KH Ahmad Dahlan, dengan pemikiran kontemporer Buya Yunahar Ilyas. Kedua figur ini, meski terpisah oleh rentang waktu yang signifikan, menunjukkan kesinambungan ideologis sekaligus transformasi metodologis dalam menyebarkan ajaran tauhid. Telaah komparatif ini mengungkap bagaimana tradisi teologis Muhammadiyah mengalami metamorfosis tanpa kehilangan esensinya.

Titik Temu: Fondasi Bersama dalam Misi Tauhid, Ahmad Dahlan dan Yunahar Ilyas bersatu dalam visi purifikasi keberagamaan, meski dengan manifestasi yang berbeda. Sang pendiri Muhammadiyah menghadapi fenomena sinkretisme religius yang mengaburkan kemurnian ajaran Islam, sementara pemikir kontemporer ini berhadapan dengan kategorisasi teologis yang dinilai membatasi pemahaman holistik tauhid. Keduanya menunjukkan sikap kritis terhadap praktik atau konsepsi yang berpotensi mengaburkan esensi ketauhidan.

Orientasi kepada Al-Qur'an dan Hadits menjadi karakteristik khas yang menyatukan visi keduanya. Ahmad Dahlan mengusung moto "rujuk kepada Al-Qur'an dan Sunnah" sebagai antitesis terhadap otoritas tradisi yang tidak berdasar, sedangkan Yunahar mengoperasionalkan prinsip serupa melalui konsep "Al-Qur'an dan Sunnah Almaqbulah" sebagai basis epistemologis. Keduanya menolak subordinasi terhadap otoritas non-skriptural yang berpotensi mendistorsi ajaran autentik.

Penolakan terhadap imitasi buta (taqlid) menjadi ciri khas lain yang menghubungkan keduanya. Ahmad Dahlan mengkritik ketergantungan berlebihan terhadap otoritas ulama tanpa verifikasi dalil, sementara Yunahar menentang rigiditas terminologis yang mengekang kreativitas pemaknaan syar'i. Keduanya mempromosikan independensi intelektual dalam beragama.

Semangat pembaruan (tajdid) merupakan DNA yang mengalir dalam pemikiran keduanya. Ahmad Dahlan menginisiasi revitalisasi Islam Indonesia melalui institusionalisasi Muhammadiyah, sedangkan Yunahar melanjutkan estafet tersebut dalam arena diskursus teologis akademik. Keduanya menjadikan inovasi sebagai instrumen aktualisasi nilai-nilai Islam.

Ahmad Dahlan beroperasi dalam konteks masyarakat tradisional yang masih didominasi praktik keagamaan sinkretis dan kolonialisme, sehingga fokusnya tertuju pada pembersihan ritual dan pemberdayaan sosial. Yunahar berhadapan dengan kompleksitas modernitas dan pluralisme pemikiran, yang menuntut sophistication dalam konstruksi teologis. Perbedaan konteks ini menghasilkan strategi dakwah yang distinktif.

Pendekatan Ahmad Dahlan lebih menekankan dimensi pragmatis dan transformatif, mengutamakan perubahan perilaku keagamaan masyarakat melalui aksi konkret. Yunahar mengembangkan sistematisasi konseptual yang lebih elaboratif, dengan memperkenalkan taksonomi baru seperti Tauhid Mulkiyah sebagai respons terhadap kebutuhan teorisasi yang lebih canggih.

Ahmad Dahlan mengadopsi strategi komunikasi populer yang accessible bagi masyarakat grassroots, dengan penekanan pada aspek praktis kehidupan spiritual. Yunahar menggunakan register akademik yang sophisticated, menargetkan kalangan intelektual dan mahasiswa melalui argumentasi yang lebih kompleks dan nuanced.

Visi Ahmad Dahlan lebih terfokus pada reformasi individual dan sosial melalui jalur pendidikan dan kesehatan, dengan tauhid sebagai basis moral. Yunahar memperluas spektrum tauhid hingga dimensi politik dan sosial secara eksplisit, mengintegrasikan aspek kedaulatan ilahi dalam tatanan kemasyarakatan.

Pergeseran dari Ahmad Dahlan ke Yunahar menunjukkan transisi dari revolusi praksis menuju evolusi teoritis. Ini mencerminkan pematangan institusional Muhammadiyah yang telah berkembang dari gerakan reformasi menjadi tradisi intelektual yang mapan.

Ahmad Dahlan merespons problematika lokal-nasional, sementara Yunahar mengaddress isu-isu global umat Islam. Hal ini mendemonstrasikan kemampuan adaptif Muhammadiyah dalam mentransendesi batasan geografis dan temporal.

Transformasi dari postur defensif Ahmad Dahlan—yang melawan praktik menyimpang—menuju postur konstruktif Yunahar yang membangun alternatif pemikiran, menunjukkan kematangan strategi intelektual organisasi.

Komparasi ini membuktikan bahwa Muhammadiyah berhasil memelihara integritas ideologis sambil mengembangkan fleksibilitas metodologis. Kemampuan ini menjadi aset strategis dalam menghadapi tantangan masa depan. Evolusi dari orientasi praksis Ahmad Dahlan ke elaborasi teoritis Yunahar menunjukkan pentingnya sinergi antara aksi dan refleksi dalam dakwah yang efektif. Keduanya mendemonstrasikan bagaimana prinsip-prinsip fundamental dapat diaktualisasikan dalam konteks yang berbeda tanpa kehilangan autentisitas.

Analisis komparatif terhadap dakwah tauhid Ahmad Dahlan dan Yunahar Ilyas mengungkap paradoks produktif dalam tradisi Muhammadiyah: kemampuan untuk mempertahankan konsistensi prinsipil sambil mengembangkan variasi metodologis. Keduanya menunjukkan bahwa dakwah tauhid bukanlah entitas statis, melainkan proses dinamis yang harus responsif terhadap tantangan zaman.

Kontinuitas visi dan adaptabilitas metode yang ditunjukkan keduanya memberikan template bagi generasi mendatang dalam mengembangkan dakwah tauhid yang autentik sekaligus relevan. Warisan intelektual mereka membuktikan bahwa tradisi yang hidup adalah tradisi yang mampu mentransformasi diri tanpa kehilangan jati diri, sebuah dialektika yang akan terus menentukan masa depan dakwah Muhammadiyah.

Tabel 1.1.

Perbedaan dan Persamaan Dakwah Tauhid KH Ahmad Dahlan

dan Buya Yunahar Ilyas

No

Persamaan

Perbedaan

1.

Kontek Historis

 

KH Ahmad Dahlan: Menghadapi tantangan sinkretisme dan kolonialisme

Buya Yunahar Ilyas: Menghadapi tantangan sekularisme dan globalisasi

  KH Ahmad Dahlan: Lebih menekankan gerakan praktis dan institusional

  Buya Yunahar Ilyas: Lebih menekankan sistematisasi konseptual dan akademis

2.

Penekanan Pada Kemurnian Tauhid

 

·  Baik KH Ahmad Dahlan maupun Buya Yunahar Ilyas sama-sama menekankan pentingnya kemurnian tauhid sebagai inti ajaran Islam. Keduanya menolak segala bentuk penyimpangan yang dapat mengaburkan keesaan Allah.

·     Misi Dakwah Tauhid

   KH Ahmad Dahlan: Menggunakan lembaga pendidikan dan organisasi dalam kemurnian tauhid.

  Buya Yunahar Ilyas: Menggunakan buku, kuliah, dan media akademik dalam dakwah kemurnian tauhid.

·  Ahmad Dahlan mencakup ketiga dimensi, namun tidak terstruktur sistematis, Buya Yunahar sistematis terstruktur

Sumber : Pengolahan data tahun 2025

4.6  Implementasi Tiga Dimensi Tauhid dalam Kehidupan Kontemporer

Perkembangan teknologi informasi membuka peluang besar bagi dakwah tauhid. Prinsip dakwah jahr dapat diterapkan melalui media sosial, YouTube, podcast, dan webinar. Sementara prinsip dakwah sirriyah dapat dilakukan melalui grup diskusi privat, mentoring online, dan kelas eksklusif.

Konten dakwah harus kreatif, edukatif, dan menyejukkan agar tidak memicu konflik atau misinformasi. Penggunaan teknologi Artificial Intelligence (AI) juga bisa menjadi sarana untuk membuat konten islami yang menarik dan interaktif. Dengan strategi ini, nilai tauhid dapat ditanamkan dalam kehidupan masyarakat modern yang serba digital tanpa kehilangan substansi ajaran Islam.

Adapun implementasi tiga dimensi tauhid dalam kehiduan kontempirersebagai berikut : Pertama  Dimensi Sosial dalam Tauhid Rububiyah dalam Kehidupan Sosial; Gerakan sosial berbasis keagamaan seperti Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC),Program pemberdayaan masyarakat oleh NU Care-LAZISNU, Aksi solidaritas lintas agama dalam menghadapi bencana. Contoh Implementasi: Respons cepat terhadap korban gempa Lombok dan Palu, Program bantuan pendidikan untuk anak-anak kurang mampu, Kerjasama dalam program vaksinasi COVID-19

Kedua :  Dimensi Ekonomi, Tauhid Mulkiyah dalam Kehidupan Ekonomi;Berkembangnya sistem ekonomi syariah, Praktik wakaf produktif untuk pemberdayaan ekonomi, Gerakan zakat nasional yang terorganisir. Contoh Implementasi:Bank Syariah Indonesia (BSI) sebagai hasil merger bank syariah BUMN, Wakaf produktif oleh Dompet Dhuafa untuk pertanian dan peternakan, BAZNAS dengan program pendidikan dan kesehatan gratis, Koperasi syariah yang menghindari sistem bunga.

Ketiga : Dimensi Pendidikan,Tauhid Uluhiyah dalam Pendidikan; Integrasi nilai-nilai tauhid dalam kurikulum Pendidikan, Pengembangan karakter islami di lembaga Pendidikan, Etika akademik berdasarkan prinsip kejujuran. Contoh Implementasi: Kurikulum Al-Islam dan Kemuhammadiyahan di sekolah/universitas Muhammadiyah, Program pendidikan karakter di pesantren modern, Sistem pengawasan akademik yang ketat terhadap plagiarisme.

Keempat : Dimensi Politik dan Pemerintahan, Implementasi Tauhid dalam Politik: Transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, Kepemimpinan yang amanah dan melayani rakyat, Pemberantasan korupsi sebagai bentuk pengkhianatan terhadap Amanah, Contoh Implementasi: Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas korupsi, Partai politik berbasis nilai Islam moderat seperti PKS dan PAN, Program-program pro-rakyat seperti pendidikan gratis dan layanan kesehatan universal, Sistem e-government untuk transparansi pelayanan public

Baik KH Ahmad Dahlan maupun Buya Yunahar Ilyas menunjukkan kemampuan mengadaptasi dakwah tauhid dengan tantangan zaman masing-masing tanpa mengurangi substansi ajaran.

 VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Estafeta dakwah tauhid dari Rasulullah SAW hingga KH Ahmad Dahlan menunjukkan kontinuitas misi suci yang telah berlangsung sepanjang sejarah Islam. Setiap generasi da'i telah berhasil mengadaptasi metode dan pendekatan dakwah sesuai dengan tantangan zamannya, namun tetap berpegang teguh pada prinsip fundamental Al-Qur'an dan Sunnah.

Kerangka tiga dimensi tauhid yang dikemukakan oleh Buya Yunahar Ilyas - Rububiyah, Mulkiyah, dan Uluhiyah - memberikan perspektif komprehensif yang sangat relevan untuk memahami dan mengimplementasikan ajaran tauhid dalam kehidupan modern. Sistematisasi ini memudahkan umat untuk memahami bahwa tauhid bukan hanya persoalan akidah teoritis, tetapi juga panduan praktis dalam seluruh aspek kehidupan.

KH Ahmad Dahlan telah menunjukkan bagaimana ketiga dimensi tauhid dapat diimplementasikan secara praktis melalui gerakan pemurnian akidah, pembangunan lembaga pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat. Pendekatan beliau yang mengintegrasikan dakwah, pendidikan, dan gerakan sosial menjadi model yang relevan untuk diterapkan dalam konteks dakwah kontemporer.

Implementasi tiga dimensi tauhid dalam kehidupan modern terbukti dapat diwujudkan dalam berbagai aspek, mulai dari gerakan sosial kemanusiaan, sistem ekonomi syariah, pendidikan berkarakter islami, hingga tata kelola pemerintahan yang bersih dan akuntabel.

 Estafeta dakwah tauhid menunjukkan kesinambungan dari Rasulullah SAW hingga KH Ahmad Dahlan. Buya Yunahar Ilyas memberikan kontribusi konseptual melalui tiga dimensi tauhid yang membantu pemahaman umat. KH Ahmad Dahlan mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut dalam bentuk gerakan sosial-keagamaan.

5.2. Saran

Para da’i masa kini perlu mengadaptasi strategi dakwah KH Ahmad Dahlan dan pemikiran Buya Yunahar Ilyas agar relevan dengan tantangan globalisasi, teknologi, dan modernisasi.

 DAFTAR PUSTAKA

  • Al-Qur'an Al-Karim.
  • Ilyas, Yunahar. Kuliah Aqidah Islam. Yogyakarta: LPPI UMY, 2016.
  • Dahlan, KH Ahmad. Kumpulan Khutbah dan Ceramah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010.
  • Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara. Jakarta: Kencana, 2013.
  • Mulkhan, A.M. Pemikiran KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah. Jakarta: Bumi Aksara, 2013.
  • Shihab, M.Q. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

 

 



[1] Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Kab.Cirebon

[2] Wakil Ketua PDM Kab.Cirebon Bidang Tarjih dan Tajdid Kab.Cirebon

[3] Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Kab.CIrebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.